Minggu, 25 Maret 2012

Coretan Tinta Putih : BBM Naik, Rakyat Menangis

Kisruh kenaikan BBM alias Bahan Bakar Minyak kian hari kian meruncing. Di sejumlah jalanan mulai marak terlihat berbagai aksi demonstrasi dari banyak kalangan, keras menyuarakan penolakan terhadap rencana pemerintah dengan berbagai slogan yang syarat akan pembunuhan karakter ini. Sudah jelas bahwa rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM pasti akan membunuh karakter masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan dengan meroketnya berbagai harga kebutuhan sandang dan pangan, dll pasca kenaikan BBM, sedangkan langkah itu tidak diiringi sama sekali dengan perencanaan perbaikan standarisasi upah minimum kerja bagi masyarakat secara universal. Di sinilah rontaan terhadap perencanaan kenaikan BBM ini berawal. Tak berimbangnya isu yang diduga sebagai perencanaan matang pemerintah yang memaksa masyarakat menjerit hingga serak ini begitu tidak di imbangi dengan kebijakan kenaikan upah dalam sektor industri pekerjaan masyarakat itu sendiri.
Dapat dilogikakan bahwa apabila BBM mengalami kenaikan, sedangkan upah/gaji yang diterima oleh masyarakat dalam kurun harian, mingguan hingga bulanan masih seperti upah/gaji yang lampau (pra kenaikan BBM), pastilah hal ini berimbas kepada makin besarnya biaya pengeluaran masyarakat untuk membeli bahan bakar minyak. Sementara itu, untuk menutupi kecolongan tersebut, dengan terpaksa masyarakat harus mengurangi berbagai tuntutan sandang dan pangannya sedikit demi sedikit. Misalkan pra kenaikan, masyarakat dapat membeli beras sebanyak 5Kg untuk bertahan hidup selama 2 minggu, maka pasca kenaikan masyarakat hanya mampu membeli sebanyak 3Kg dan tidak dapat lagi bertahan selama 2 minggu. Ironis kah ini menurut kita? Tunggu dulu, ini baru sebuah gambaran hanya untuk beras saja, bagaimana apabila setiap item kebutuhan lainnya juga harus ikut dikurangi jumlahnya? Tentunya dapat dipastikan bahwa masyarakat yang hidup pra kenaikan pun sudah tersiksa, apa lagi bila dihadapkan dengan hari-hari pasca kenaikan.
Berpatok kepada prediksi logika di atas, maka dapat ditarik benang merah atas perencanaan kenaikan BBM ini, yaitu penderitaan masyarakat akan kian memburuk dalam hitungan hari-hari yang dijalaninya. Namun, sebenarnya, dari sedikit materi yang telah diterakan pada paragraf sebelumnya juga dapat dijadikan sebuah saran bagi pemerintah, agar sebelum menaikkan harga BBM, terlebih dahulu harus mencanangkan program ideal bagi masyarakat, yaitu menaikkan upah kerja secara universal. Hal ini merupakan langkah vital bagi pemerintah untuk dapat menenangkan perspektif masyarakat yang sedang berkecamuk hingga sekarang.
Apabila digali lebih dalam, bahkan dapat dimunculkan berbagai spekulasi khusus tentang "Mengapa Harga BBM Harus Naik?". Bukankah Indonesia merupakan sebuah negara yang begitu kaya akan rempah-rempahnya, ditambah lagi dengan kekayaan alam berupa hasil tambang emas, bouksit, batu bara, uranium, timah, dan lain sebagainya? Sudah tentu, memang begitulah adanya Indonesia. Kekayaan yang berlimpah ruah ini adalah sebuah anugrah yang memiliki gelora potensi bagi berbagai daerah yang ada di Indonesia. Ambil sebuah contoh, sebuah daerah penghasil timah seperti Bangka Belitung sudah tentu memiliki Pendapatan Asli Daerah yang sangat besar. Lantas, mengapa tidak disisihkan dana itu untuk mensubsidikan BBM? Apabila masih terdengar dalih dari pejabat daerah yang mengatakan "Itu semua tidak cukup", maka hal itu dapat segera dibantahkan hanya dengan sebuah pemikiran, yaitu konvensi penggunaan dana. Konvensi penggunaan dana yang dimaksud adalah pengalihan penggunaan dana study banding para pejabat daerah itu sendiri di alihkan atau digunakan untuk mensubsidikan BBM di daerah yang bersangkutan. Ini bukanlah sebuah siasat yang dipergunakan untuk menutup mati jalur perjalanan dinas pejabat daerah untuk study banding, tetapi lebih merupakan sedikit pengurangan rutinitas study banding itu sendiri. Namun, dalam hal ini harus dipertanyakan terlebih dahulu kepada para pejabat daerah itu sendiri, apakah mereka berani untuk bertindak sejauh demikian demi masyarakat yang telah memilih dan mengangkat mereka sebagai pejabat di negerinya sendiri? Bila memang setuju, maka dapat disimpulkan bahwa memang benar ternyata pejabat tersebut pantas untuk menyandang gelar sebagai wakil rakyat. Namun bila jawaban yang dikeluarkan adalah tidak, maka jelas, yang bersangkutan bukan merupakan wakil rakyat, melainkan hanya wakil bagi anak istrinya dirumah. Perlu di ingat bahwa tindakan dari mereka yang mengumandangkan persetujuan atas konvensi tersebut sesungguhnya bukan merupakan ajang balas budi untuk masyarakat yang pernah memilihnya sebagai wakil, akan tetapi semua itu merupakan kebijakan seorang wakil rakyat yang memang ingin melindungi dan mengayomi masyarakatnya dengan sepenuh hati sesuai dengan hati nurani.
Dapat dibayangkan apabila tindakan diatas dilaksanakan oleh seluruh wakil rakyat didaerah, dipastikan akan dapat meredam api amarah masyarakat yang menggila karena perencanaan kenaikan BBM ini. Akan tetapi, di zaman kini, masih adakah keajaiban yang seperti ini? Entah. Bersama kita sadar bahwa hidup didunia hanyalah sementara semata. Tak ada yang istimewa dimata Allah S.W.T., selain amal perbuatannya selama hidup didunia. Wallahua'lam.....
Semoga Wakil Rakyat kita memang benar-benar jelmaan utuh dari seluruh pemikiran rakyat....

0 komentar:

Poskan Komentar


Tidak ada komentar:

Posting Komentar